• slide nav 1

    Salim Business Group

    Kehidupan terbaik yakni hidup sukses bahagia dan berkah ...
  • slide nav 2

    Ekselensia Training

    Membangun pelatihan yang terbaik dan terpercaya sebagai sarana percepatan dalam mencapai kehidupan terbaik...
  • slide nav 3

    Impian Hari Ini...

    Ketahuilah bahwa kenyataan hari ini adalah mimpi hari kemarin, dan impian hari ini adalah kenyataan di hari esok
  • slide nav 4

    Trainer

    Lima Level Trainer...
  • slide nav 5

    Alasan!

    Sembilan puluh sembilan persen kegagalan datang dari orang yang punya kebiasaan suka membuat alasan ...
  • slide nav 6

    Memulai Usaha

    Tiga Langkah Menuju Bisnis yang Sukses...

Selamat Datang di Website Salim Business Group

"Kita dibatasi bukan oleh kemampuan kita, tapi oleh visi kita.” Jonathan Swift (1667—1745), pengarang dan sastrawan Irlandia"

Delete this element to display blogger navbar

0 Menjadi Sekolah Ideologis yang Laris

Menjadi Sekolah Ideologis yang Laris

Selain mutu akademik, keberhasilan pendidikan di sekolah juga sangat dipengaruhi oleh seberapa besar tingkat kebanggaan para guru dan murid menjadi keluarga besar sekolah tersebut. Rasa bangga menjadi murid di sebuah sekolah, mempengaruhi bagaimana seorang anak menerima, menghayati dan menjalani nilai-nilai, budaya sekolah dan impian besar lembaga yang mendidiknya. Ini sangat penting untuk membangun karakter dan membentuk budaya belajar yang kuat.

Ukuran paling sederhana seberapa besar tingkat kebanggaan terhadap sebuah sekolah dapat dilihat dari seberapa besar minat masyarakat mendaftar ke sekolah tersebut. Semakin besar jumlah peminat yang ingin bersekolah, menunjukkan persepsi masyarakat yang semakin positif terhadap lembaga tersebut. Perasaan yang mendahului ini –initial credibility—menyebabkan sekolah memiliki kredibilitas dan kekuatan dalam membentuk sikap, cara berpikir dan karakter yang kuat, termasuk budaya belajar. Besarnya tingkat kepercayaan murid beserta orangtuanya terhadap sekolah memudahkan proses pembentukan kode perilaku (behavior code) utama. Kode perilaku ini sangat penting bagi tumbuhnya budaya unggul. Kode perilaku juga bermanfaat sekali untuk menciptakan identitas budaya sekolah. Apa artinya? Keunggulan mutu akademik memang tidak bisa ditawar-tawar. Sekolah harus mengembangkan tradisi pembelajaran yang menjamin tercapainya standar mutu akademik yang tinggi. Tetapi sekedar bermutu secara akademik tidak cukup. Tak sekedar mencerdaskan otak, sekolah juga harus membangkitkan jiwa sehingga kelak para murid akan menjadi orang yang kaya inspirasi, kreatif, proaktif dan produktif. Mereka memiliki keyakinan yang kuat dan gigih dalam mewujudkan apa yang mereka yakini. Perasaan sebagai orang pilihan –karena tidak semua bisa diterima di sekolahnya—sangat bermanfaat untuk membentuk berbagai sikap mental tersebut. Tetapi bagaimana mungkin perasaan sebagai orang pilihan akan tumbuh jika sekolahnya memang tidak diminati orang? Bagaimana mungkin kebanggaan itu ada jika sekedar mendaftar jadi murid saja orang malu melakukannya? Karena itu, sudah saatnya sekolah-sekolah Islam belajar dengan serius bagaimana memasarkan sekolah. Kita memang harus mendesain setiap sekolah kita sebagai sekolah ideologis. Tetapi pada saat yang sama, melalui strategi pemasaran yang baik, masyarakat memiliki kepercayaan yang besar terhadap lembaga pendidikan yang kita kelola sehingga menjadi sekolah ideologis yang laris. Sesungguhnya, ukuran keberhasilan minimal dakwah melalui pendidikan adalah seberapa besar antusiasme masyarakat mempercayakan pendidikannya di sekolah kita. Apa manfaat mempelajari dan menerapkan strategi pemasaran sekolah?

 Pertama, sekolah kita bukan sekedar bertahan sebagai lembaga pendidikan, lebih dari itu memiliki nilai tawar yang tinggi di hadapan para murid maupun wali murid. Imbasnya, kita memiliki kekuatan yang lebih besar dalam menjalankan berbagai program, terutama program yang melibatkan wali murid. Umumnya, wali murid memiliki keterlibatan emosi, waktu dan finansial yang tinggi jika merasa sekolah anaknya merupakan sekolah pilihan yang membanggakan. Menjadi wali murid sekolah favorit merupakan keuntungan emosi (emotional benefits) yang mendorong mereka untuk bersedia terlibat lebih banyak. 

Kedua, strategi pemasaran yang tepat bermanfaat untuk meningkatkan citra sekolah sehingga bisa menjadi pilihan utama yang diingat orang (top of mind). Meningkatnya citra positif sekolah akan meningkatkan apresiasi publik. Manfaatnya, sekolah bisa mendapatkan calon murid lebih awal dibanding sekolah lain. Dengan demikian sekolah memperoleh murid baru yang lebih bagus mutunya.

 Ketiga, pemahaman tentang pemasaran memudahkan sekolah untuk merumuskan positioning dengan lebih baik. Sekolah juga bisa lebih tepat menentukan targeting; siapa yang akan dibidik untuk menjadi murid dan wali murid. Kejelasan positioning dan targeting ini memudahkan sekolah melakukan promosi secara kreatif, efektif dan efisien. Tidak menghamburkan dana untuk sasaran yang tidak tepat. Selain itu, antar sekolah Islam bisa bersaing sehat. Tiap sekolah bisa saling membantu promosi sekolah Islam lainnya karena masing-masing telah menentukan positioning dan targetingnya dengan baik. Insya Allah.

M. Fauzil Adhim
Read more

0 Ingatan yang Tajam !

FOTO: ksatriapelangi.wordpress
Oleh Mohammad Fauzil Adhim
Bertanyalah kepada orang yang merasa daya ingatnya rendah, apa yang sulit mereka lupakan. Menarik! Ternyata hampir semua memiliki pengalaman yang tidak mudah mereka hapuskan; mudah sekali teringat setiap kali ada peristiwa yang berkait. Begitu juga, kita menjumpai betapa banyak peristiwa, tindakan, ucapan bahkan tulisan yang dengan mudah mereka rekam dan pahami sekaligus bisa segera mereka ingat tatkala memerlukan. Padahal, mereka merasa daya ingatnya rendah!
Kita melihat di sini sebuah kontradiksi menarik: daya ingat rendah, tetapi susah lupa!
Apakah ini sebuah keanehan? Tidak. Kita merasa aneh semata karena belum memahami prinsip-prinsip yang berada di baliknya. Begitu kita mengetahui bagaimana otak bekerja, segera kita memahami betapa dahsyatnya kemampuan otak yang diberikan oleh Allah ‘Azza wa Jalla kepada manusia yang memiliki kecerdasan rata-rata. Apalagi yang memang ditakdirkan sebagai manusia jenius.

Anda sendiri saya kira juga memiliki hal-hal yang sulit dilupakan maupun hal-hal yang sangat mudah diingat. Yang sulit kita lupakan adalah peristiwa yang memiliki bobot emosi sangat kuat. Gempa bumi misalnya, umumnya termasuk peristiwa yang sulit dilupakan. Peristiwa traumatis bahkan bisa menghantui seseorang sepanjang hidupnya sehingga menuntut usaha keras untuk melupakannya, meski peristiwa yang sama tidak menimbulkan efek apa-apa bagi orang lain. Sementara yang mudah kita ingat adalah hal-hal yang kita minati, yang berkaitan dengan tujuan kuat dalam diri kita, baik jangka pendek maupun cita-cita besar di masa mendatang yang benar-benar mempengaruhi diri kita.
Pengagum berat musik rock misalnya, dengan mudah akan hafal –bahkan tanpa menghafalkan—lagu baru yang dilantunkan oleh penyanyi pujaannya, cukup satu kali mendengarkan. Padahal dalam bidang akademik, boleh jadi dia merasa susah mengingat materi pelajaran sederhana yang disampaikan oleh guru paling menarik sekalipun.
Apa sebabnya? Rasa suka. Karena ia sangat mengagumi sang penyanyi, maka muncul antusiasme saat mendengarkan. Antusiasme inilah yang menimbulkan semangat hingga kita bisa menghafal lagu dengan sangat cepat. Tanpa sadar, kita telah belajar dengan mengerahkan kemampuan otak kita secara maksimal. Bukankah salah satu yang menguatkan daya ingat saat belajar adalah perhatian?
Nah, sebuah pelajaran baru saja kita catat, antusiasme menjadikan perhatikan kita meningkat terhadap apa yang kita pelajari.
Jika mencermati bagaimana para sahabat radhiyallahu ‘anhum ajma’in mendengarkan setiap tutur kata Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam (SAW), kita merasakan betapa besar antusiasme mereka. Ada kecintaan yang luar biasa dalam diri setiap sahabat kepada Rasulullah SAW sehingga secara spontan mereka memperhatikan dengan sungguh-sungguh disertai minat yang sangat tinggi terhadap setiap ucapan dan tindakan Rasulullah.
Selain rasa suka yang membangkitkan antusiasme, tujuan yang kuat juga sangat berpengaruh terhadap kekuatan daya ingat. Kuatnya tujuan akan menciptakan konteks dalam otak sehingga kita mudah melihat hubungan antar berbagai pokok pembahasan yang kita dengar, lihat, simak dan baca. Ini memudahkan kita memahami sebuah masalah, menguasai konsepnya dengan baik dan memikirkan penerapannya, menganalisis permasalahan secara terampil dan bahkan memadukan bagian-bagian menjadi satu kesatuan pemahaman yang utuh. Ini berarti, kuatnya tujuan memudahkan kita mengingat, mengetahui dengan baik, memahami secara matang hingga melakukan sintesis atas apa yang kita pelajari. Setidaknya, tujuan yang jelas dan kuat menjadikan kita mudah memahami apa yang bagi kebanyakan orang sulit untuk dimengerti.

Selain tujuan, daya ingat kita juga dipengaruhi oleh makna atau nilai yang kita hayati atas apa yang kita lakukan. Lebih-lebih jika nilai itu sudah menjadi karakter pribadi, kita akan mudah memahami apa yang kita pelajari.
Lalu, darimana makna itu kita peroleh? Ada dua hal. Pertama, penghayatan secara langsung terhadap makna kegiatan kita –dalam hal ini belajar— sehingga kita merasakan, menerima dan mengikatkan diri dengan nilai tersebut. Ini erat kaitannya dengan niat, disamping proses penanaman nilai yang bersifat terus menerus. Dimulai dengan membangun kesadaran sehingga anak-anak memiliki kemampuan untuk memperhatikan sesuatu dengan nilai yang diyakininya, lalu berangsur meningkat kepada partisipasi, penghayatan nilai, membentuk sistem nilai hingga akhirnya terbentuk karakter diri yang kuat. Itu sebabnya, pendidik perlu terus-menerus menyegarkan niat murid maupun dirinya sendiri. Jika guru mengajar dengan niat yang baik dan kuat, ia akan mengajar dengan penuh antusiasme dan kesungguhan. Dan karena antusiasme menular, anak-anak akan memiliki antusiasme yang besar pula!
Kedua, penanaman dan penguatan tujuan. Proses ini bisa dilakukan di rumah maupun sekolah. Akan lebih baik jika orangtua melakukannya dan guru menguatkannya di sekolah, sekaligus memperkaya wawasan siswa. Penguatan tujuan ini juga bisa kita lakukan dengan membangun visi hidup serta orientasi hidup anak. Jika visi hidup berkait dengan harapannya di masa yang akan datang, orientasi hidup adalah bagaimana dia memandang kehidupannya sehari-hari; untuk apa ia hidup.
Masih berkenaan dengan ingatan yang tajam. Daya ingat juga sangat dipengaruhi oleh emosi positif yang bernama optimisme. Salah satu faktor yang mendorong anak untuk optimis adalah keyakinan terhadap pertolongan Allah ‘Azza wa Jalla; bahwa Tuhan tak pernah tidur dan senantiasa menolong hamba-Nya yang memerlukan. Di sinilah kita bisa membangun pemahaman sekaligus orientasi hidup pada siswa tentang siapa saja orang yang senantiasa mendapat pertolongan dari Allah dan apa saja syaratnya.
Rasa Takut yang Positif
Jika optimisme berpengaruh terhadap daya ingat serta kemampuan memahami, maka kekhawatiran dan rasa takut membuat otak sulit mencerna informasi yang kita terima. Anak-anak yang cemas saat belajar cenderung lamban dalam memahami pelajaran serta lemah dalam mengingat apa yang sudah pelajari. Lebih-lebih jika dibayangi oleh kegagalan, anak akan cenderung stress dan sulit memusatkan perhatian. Di saat konsentrasi lemah seperti itu, pelajaran yang mudah pun akan terasa sangat sulit.

Yang menyedihkan, kita justru sering menuntut mereka agar memperhatikan pelajaran di saat mereka sedang mengalami kesulitan berkonsentrasi. Ini membuat anak merasa semakin cemas. Ia pesimis. Tak berdaya. Ujungnya, ia mulai menunjukkan perilaku menyimpang, nakal dan sejenisnya. Tindakan ini justru menguatkan keyakinan orangtua maupun guru bahwa anak-anaknya tidak bisa diatur, bodoh dan sejenisnya. Sebuah lingkaran setan yang sempurna!
Itu sebabnya, kita perlu memberi motivasi kepada anak-anak dengan membangun kedekatan emosi antara guru (termasuk orangtua) dan anak, membangkitkan antusiasme, menumbuhkan tujuan yang kuat, optimisme serta tanamkan makna dan nilai (meaning & value) yang kokoh. Gugah mereka untuk mempunyai mimpi besar di masa yang akan datang. Mimpi untuk berbuat dan bermakna. Bukan angan-angan untuk mendapatkan dunia melalui kecerdasannya.
Selain motivasi secara langsung, penguatan tujuan juga bisa kita lakukan dengan menciptakan rasa takut yang positif. Apa itu?
Jika rasa takut menghadapi ujian akan melemahkan kemampuan mereka dalam belajar, maka ketakutan yang berpijak pada rasa tanggung-jawab terhadap masa depan umat ini, akan menguatkan tujuan. Semakin efektif kita menanamkan rasa takut yang positif, akan semakin kuat tekad mereka untuk belajar. Kita ajak mereka untuk membayangkan masa depan yang mengerikan bagi bangsa, umat atau keluarga, kecuali jika mereka bersungguh-sungguh merebut masa depan. SUARA HIDAYATULLAH APRIL 2008
Wallahu a’lam bishawab.
Read more

0 Belajar sebagai Kebutuhan

Oleh Mohammad Fauzil Adhim
FOTO: sbelen.wordpress.com
Perasaan kita terhadap sesu¬atu, sangat mempengaruhi bagaimana kita mengambil keputusan, dibanding pengetahuan kita terhadapnya. Perasaan kita sangat dipengaruhi oleh sikap mental dan wawasan kita.
Lho, apa bedanya wawasan dengan pengetahuan? Secara sederhana, wawasan ada¬lah pengetahuan dan pengalaman yang kita hayati. Menambah wawasan berarti meningkat¬kan rentang masalah yang kita ketahui atau alami secara bermakna. Bukan sekadar kita keta¬hui dan pahami dengan baik.
Contoh sederhana. Setiap orangtua hampir pasti tahu betul betapa berharganya be¬kal pendidikan bagi masa depan anaknya, baik yang menyangkut urusan hidup di dunia –termasuk di antaranya masalah profesi— maupun urusan hidup di akhirat. Yang terakhir ini erat kaitannya dengan akhlak; tujuan hidup dan pengelolaan emosi yang jika kita perhatikan betul juga berkait erat dengan kebahagiaan hidup di dunia.
Manfaat pendidikan ini hampir pasti setiap orangtua mengetahui. Setidaknya manfaat pendidikan bagi kesuksesan hidup di dunia. Tetapi apakah ini mempengaruhi sikap orangtua terhadap urusan pendidikan anak? Apakah pengetahuannya tentang pendidikan mempengaruhi keputusannya tentang apa yang harus diberikan di rumah?
Tidak. Orangtua memang tahu pendidikan itu penting. Tetapi perasaannya be¬lum tumbuh, sikap mentalnya belum terbentuk dan tidak memiliki wawasan pendidikan yang memadai –meski pengetahuannya sangat luas— tetap akan merasa berat mengeluarkan seba¬gian hartanya bagi pemuliaan pendidikan anak. Rasanya lebih ringan membelikan baju baru yang harganya bisa mencapai lima atau bahkan sepuluh kali lipat harga buku, dibanding membeli¬kan pensil dan kertas lipat. Kenapa? Karena nilainya terhadap perasaan kita, diri kita dan arah hidup kita.
Membangun Sikap Belajar
Sama seperti orangtua, anak-anak juga kurang bergairah melakukan sesuatu jika ia belum memiliki sikap belajar yang baik. Meskipun ia tahu betul bahwa belajar sangat berman¬faat bagi kehidupannya kelak. Ia tetap akan enggan berkutat di depan buku atau duduk takzim kepada seorang guru menanti tetesan ilmu darinya jika ia belum memiliki perasaan positif ter¬hadap belajar. Itu sebabnya, kita memiliki tugas menanamkan perasaan positif terhadap be¬lajar kepada anak semenjak dini, terutama pada rentang usia 4-8 tahun.

Ini pula yang harus diperhatikan oleh guru TK. Membangun sikap positif terhadap belajar, jauh lebih penting daripada mengajari mereka menyanyi dan menari!
Jadi, sikap belajarlah yang harus kita bangun terlebih dulu. Bukan kecakapan akade¬mik. Usia tujuh tahun belum lancar membaca tidak masalah asalkan ia sudah memiliki sikap belajar yang baik dan kokoh.
Terampil membaca di usia empat tahun karena ada motivasi belajar yang kuat dalam dirinya, adalah hal yang luar biasa hebat. Tetapi terampil membaca di usia yang sama semata karena dilatih oleh gurunya di TK ataupun orangtua di rumah, adalah musibah besar yang keburukannya akan terlihat ketika usianya memasuki 10 atau 14 tahun.

Beruntung jika dampak negatifnya terlihat pada usia 6 tahun, kita bisa segera mela¬kukan tindakan untuk memulihkan kondisi psikis anak. Cara penanganannya relatif masih lebih mudah. Tetapi jika dampak negatif dari salah perlakuan itu baru kita ketahui pada usia 14 tahun, perlu waktu yang lebih lama dan penanganan yang lebih pelik untuk memulihkan minat belajar anak dan kondisi mentalnya secara umum.
Ini sama dengan menghafal. Kita berharap anak-anak kita memiliki hafalan yang banyak atas ayat-ayat al-Qur’an serta Hadits yang mulia. Tetapi banyaknya hafalan tidak men¬jadi penanda bercahayanya jiwa mereka oleh ayat suci.

Besarnya rasa cinta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT) dan Rasul-Nya akan membangkitkan hasrat yang kuat untuk belajar dan menghafal, tetapi banyak¬nya hafalan tidak dengan sendirinya menjadikan anak memiliki kecintaan kepada agama.
Jika cara kita menggembleng mereka untuk menghafal tidak tepat, justru yang terjadi bisa seba¬liknya. Besarnya tekanan untuk menghafal membuat mereka mengalami kebosanan belajar justru di saat mereka memasuki usia emas untuk mengingat, memahami dan mengkaji.
Tentu saja kita boleh mengajari anak-anak kita menghafal. Kita sudah pernah ber¬bincang di forum ini dalam tulisan bertajuk Menguatkan Hafalan tanpa Melemahkan Kecerdasan. Saya hanya ingin mengingatkan kembali dengan keprihatinan yang amat dalam agar tidak salah orientasi. Kita perlu merangsang kekuatan hafalan mereka, tetapi hafalan bukanlah ori¬entasi pendidikan Islam. Bukan untuk itu kita mendidik mereka dan mendirikan sekolah. Apa pun nama sekolah itu.
Jadi, tugas kita yang paling penting dalam kaitannya dengan menumbuhkan minat belajar pada anak adalah membangun sikap positif terhadap belajar. Ini terjadi pada rentang usia 4-8 tahun, meskipun pada usia sebelumnya kita sudah bisa mengaitkan hal-hal yang me¬nyenangkan bagi anak dengan belajar.
Sikap positif itu kita tumbuhkan dengan memberi pe¬ngalaman belajar yang menyenangkan, membangun kedekatan emosi dengan anak, mencip¬takan kondisi belajar yang positif sebelum dan selama anak belajar, menunjukkan dan manfaat be¬lajar. Selain itu, menularkan antusiasme terhadap ilmu, memberi apresiasi terhadap belajar melalui ucap¬an-ucapan kita yang terencana maupun spontan, serta menjadikan diri kita sebagai contoh.

Membangun Kepercayaan Diri
Hal lain yang juga perlu kita perhatikan adalah perasaan bahwa anak memiliki kom¬petensi yang layak diandalkan. Sepintar apa pun anak, jika mereka merasa tidak mempunyai kelebihan apa pun yang bisa bermanfaat bagi orang lain dan bahkan bagi dirinya sendiri, akan cenderung lemah percaya dirinya. Ini akan sangat berpengaruh terhadap minat dan kesung¬guhannya belajar.

Secara alamiah, anak akan memiliki antusiasme dan percaya diri yang baik. Secara alamiah pula, anak-anak akan menunjukkan kelebihan mereka dan meminta pengakuan me¬reka. Ini terutama terjadi semenjak anak usia 2 tahun. Meskipun kerap memperoleh tanggapan negatif dari orangtua, percaya diri anak serta perasaan bahwa dirinya memiliki kompetensi (sense of competence) cenderung masih kuat sampai anak usia 6 tahun. Tetapi jika di usia ini masih sering memperoleh komentar negatif, anak akan mulai kehilangan percaya diri dan me¬rasa bahwa dirinya tidak memiliki kelebihan apa pun.
Sebagian besar yang membuat anak tidak memiliki kemampuan yang layak diandalkan adalah komentar pendidik, baik orangtua maupun guru di sekolah. Pada sebagian kasus, anak kehilangan sense of competence (kesadaran atau perasaan bahwa dirinya memiliki kompetensi) karena komentar guru yang buruk.
Apa yang terjadi jika anak tidak memiliki keyakinan bahwa dirinya memiliki kom¬petensi? Mereka akan malas belajar. Bahkan bisa jadi mereka anti belajar. Sebab segigih apa pun mereka berusaha, mereka merasa akan tetap saja tidak memiliki kelebihan. Sebaliknya, anak akan mengembangkan minat belajarnya jika mereka memiliki sense of competence yang baik.
Alhasil, jika kita ingin menjadikan belajar sebagai kebutuhan anak, dua hal inilah yang perlu kita bangun: sikap positif terhadap belajar dan keyakinan bahwa mereka memi¬liki kompetensi. Selebihnya, kita perlu menumbuhkan harga diri mereka. Wallahu a’lam. SUARA HIDAYATULLAH NOPEMBER 2008
Read more

0 Kuat Memegang Prinsip

Oleh Mohammad Fauzil Adhim
FOTO: azansite.wordpress
Harus ada keyakinan kuat yang mereka pegangi agar bisa tegak kepalanya, mantap langkahnya, jelas tujuannya, dan ada alasan yang kuat untuk bertindak dan bekerja keras. Keyakinan kuat kepada Allah Yang Maha Menciptakan hampir tidak ada artinya jika tidak ada petunjuk yang pasti benarnya untuk hidup yang sesuai dengan kehendak-Nya. Tidak ada artinya pula jika petunjuk itu berubah-ubah tanpa kepastian. Ringkasnya, petunjuk itu harus pasti dan meyakinkan. Betul-betul petunjuk dari Allah ‘Azza wa Jalla. Bukan rekaan. Dan al-Qur’an adalah kitab yang sempurna. Dan di bulan Ramadhan ini selalu di-taddarus dan amalkan.
Tak kalah pentingnya untuk diperhatikan, petunjuk itu haruslah menjadi pijakan dalam bertindak serta acuan dalam berpikir dan bersikap. Mengacu pada petunjuk, kita mengarahkan pikiran, sikap, keinginan dan tindakan kita. Berpijak pada petunjuk, kita membangkitkan mimpi-mimpi dalam diri kita untuk meraihnya sekaligus memperoleh kebaikan dari usaha maupun hasilnya. Petunjuk menjadi daya penggerak (driving force) untuk bertindak, berjuang, bersungguh-sungguh dan berkorban untuk menjalani serta mewujudkan cita-cita yang bersifat moralistik-idealistik.
Apakah petunjuk yang pasti benarnya itu? Al-Qur’an. Allah Ta’ala menjamin, “Alif Laam Miim. Kitab (al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka, dan mereka yang beriman kepada Kitab (al-Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.” (Al-Baqarah [2]: 1-4).
Tetapi…

Al-Qur’an tidak memberi manfaat jika kita menggunakannya sebagai pembenaran atas pendapat dan keinginan kita, bukan sebagai sumber kebenaran. Kita kehilangan petunjuk. Pada saat yang sama, sikap itu membuat anak-anak kehilangan kepercayaan terhadap al-Qur’an, meski secara kognitif mengakuinya sebagai kitab suci. Hilangnya kepercayaan itu secara pasti akan menyebabkan anak kehilangan rasa hormat terhadap kesucian agama sehingga hampir tidak mungkin menjadikannya sebagai pembentuk sikap hidup yang kokoh.
Maka, kita perlu menghidupkan budaya mengambil petunjuk dari al-Qur’an semenjak anak-anak masih amat belia. Kita mengakrabkan mereka dengan kebiasaan mengenali bagaimana kemauan al-Qur’an dalam setiap urusan sekaligus membuktikan kebenaran al-Qur’an. Kita membiasakan mereka untuk mencerna ayat al-Qur’an, lalu mengajak mereka menemukan apa yang harus mereka kerjakan berdasarkan ayat-ayat tersebut.
Ini berarti, kita memperkenalkan tradisi mendeduksikan pesan-pesan al-Qur’an dalam pemahaman. Artinya, bermula dari ayat al-Qur’an kita belajar merumuskan sikap dan tindakan. Bermula dari al-Qur’an, kita mengarahkan perasaan dan pikiran kita. Berpijak pada al-Qur’an, kita menilai segala sesuatu. Dalam hal ini, al-Qur’an menjadi penilai, penjelas dan pembeda.
Cara memperkenalkan al-Qur’an yang semacam ini akan lebih sempurna jika orangtua maupun guru memiliki kecakapan untuk memahami “maksud al-Qur’an yang sebenarnya,” sebelum mengeksplorasi lebih jauh. Hal ini kita lakukan dengan membiasakan anak memahami maksud tiap ayat berdasarkan tafsir yang otoritatif, yakni tafsir baku yang semua mufassir terpercaya menerimanya. Sebab tidak mungkin kita mengambil petunjuk dari sesuatu kecuali dengan memahami maksud yang sebenarnya. Tanpa memahami maksud yang sebenarnya, kita bukannya mengambil petunjuk dari al-Qur’an, tetapi menjadikan al-Qur’an sebagai penguat dari pendapat kita tanpa kita menyadari.
Ambillah contoh sederhana. Dalam al-Qur’an, Allah Subhanahu WaTta’ala (SWT) berfirman, “….Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri…..” (Ar-Ra’d [13]: 11).
Penggalan ayat ini sering menjadi argumentasi mereka yang sedang meyakinkan saudara-saudaranya untuk melakukan perubahan nasib. Padahal, ayat ini sebenarnya menunjukkan bahwa pada dasarnya Allah Ta’ala limpahkan kebaikan dan kemuliaan kepada kita sampai jiwa kita berubah. Jika iman sudah bertukar dengan kekufuran dan taat berganti dengan kemaksiatan, maka Allah ‘Azza wa Jalla akan mencabut kenikmatan tersebut dari suatu kaum.
Nah.
Contoh sederhana ini menunjukkan betapa pentingnya kita menghidupkan budaya mengambil petunjuk secara tepat. Sebab, salah dalam mengambil petunjuk –meski sumber petunjuknya benar—akan salah pula tindakan yang kita ambil, sehingga akibat berikutnya pun akan salah.

Di sini kita perlu berhati-hati. Pemahaman, perasaan, sikap, keyakinan dan tidak terkecuali tindakan, banyak berawal dari perkataan. Cara kita mengungkapkan, sangat berpengaruh terhadap pemahaman, penghayatan dan keyakinan. Sangat berbeda akibatnya bagi keyakinan anak terhadap al-Qur’an. Salah cara kita berbicara, salah pula sikap anak terhadap al-Qur’an sebagai petunjuk untuk masa-masa selanjutnya.
Sangat berbeda pengaruhnya bagi pikiran ketika kita berkata, “Begitulah Allah Ta’ala berfirman. Karena itu…, kita perlu berusaha dengan sungguh-sungguh agar bisa lebih banyak bersedekah.” Kalimat ini mengisyaratkan bahwa al-Qur’an adalah sumber petunjuk dan inspirasi tindakan. Sedangkan kalimat berikut, melemahkan keyakinan anak terhadap al-Qur’an karena terasa sebagai pembenaran. Bukan sumber kebenaran. Sainslah yang menjadi sumber kebenaran manakala kalimat kita berbunyi, “Berdasarkan penemuan mutakhir tadi kita bisa melihat bahwa sikap kita bisa mempengaruhi alam semesta, meskipun kelihatannya tidak merusak. Karena itu…, tidak heran kalau Allah Ta’ala berfirman….”
Agar anak semakin percaya kepada al-Qur’an, suasana yang menjadikan al-Qur’an sebagai petunjuk dan acuan dalam bertindak perlu dihidupkan. Ini menuntut budaya pembelajaran yang kontekstual. Seorang guru al-Qur’an adalah guru yang kemana pun ia pergi, ia akan menunjukkan kepada murid-muridnya bagaimana al-Qur’an berbicara. Melalui cara ini anak memperoleh pengalaman mental bahwa al-Qur’an melingkupi seluruh aspek kehidupan, sehingga anak semakin dekat hatinya kepada petunjuk. Selengkapnya, pembicaraan tentang ini akan kita lanjutkan pada edisi mendatang.
Anak-anak juga perlu memperoleh pengalaman iman dan sekaligus intelektual bahwa al-Qur’an merupakan penimbang, penilai dan pemberi kata putus tentang benar tidaknya sebuah pendapat, bahkan penemuan yang dianggap ilmiah sekalipun. Bukan sebaliknya, menakar kebenaran al-Qur’an dari sains. Untuk itu, seorang guru perlu memiliki wawasan luas, meski yang diajarkan di sekolah hanya satu mata pelajaran: tahfidz. Menghafal al-Qur’an. Tujuannya, agar murid tidak hanya hafal di otak, tetapi lebih penting lagi meyakini di hati.
Selebihnya, tidak bisa tidak, modal yakin dan tidak ragu sama sekali terhadap al-Qur’an adalah dengan mengenal dan mengimani sumber al-Qur’an, yakni Allah Ta’ala dan proses turunnya.
Ringkasnya, ternyata untuk mengajak anak-anak meyakini al-Qur’an, guru tidak cukup sekedar bisa membaca. Hanya dengan meyakini secara total sehingga tidak ada keraguan di dalamnya, al-Qur’an bisa menjadi daya penggerak untuk bertindak. Dengan demikian, mereka tidak sekedar hafal. Lebih dari itu, hidup jiwanya dan kuat keyakinannya dalam memegangi prinsip. SUARA HIDAYATULLAH SEPTEMBER 2008
Wallahu a’lam bish-shawab.
Read more

0 Segenggam Iman di Rumah Kita


FOTO: ALBAR
Oleh Mohammad Fauzil Adhim


Apa yang salah pada Nabi Nuh ‘Alaihissalam (AS)? Ia seorang Nabi sekaligus utusan Allah ‘Azza wa Jalla. Imannya jangan ditanya, sudah tentu sangat terjaga. Tidak mungkin ada Nabi yang imannya meragukan. Hidupnya selalu dalam petunjuk karena Allah Ta’ala sendiri yang membimbingnya. Akhlaknya? Pasti mulia.
Seorang Nabi sudah jelas amat kuat penjagaannya dari hal-hal yang meragukan (syubhat). Apalagi dari yang haram. Tetapi apakah semua kemuliaan itu menjadikan anaknya berada dalam barisan orang-orang yang beriman? Tidak. Justru sebaliknya, putra Nabi Nuh menjadi pendurhaka. Hingga detik-detik terakhir hidupnya, ia masih diseru oleh ayahnya –Nabi Nuh—untuk masuk dalam barisan orang beriman. Tetapi ia menolak.
Marilah kita kenang percakapan Nabi Nuh dengan putranya sebagaimana diabadikan dalam al-Qur’an:
“Dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung. Dan Nuh memanggil anaknya sedang anak itu berada di tempat yang jauh terpencil: ‘Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir.’

“Anaknya menjawab: ‘Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!’ Nuh berkata: ‘Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) Yang Maha Penyayang.’ Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.” (Huud [11]: 42-43).
Apa yang bisa kita renungkan dari ayat tersebut? Banyak hal. Salah satunya adalah pelajaran berharga betapa kita tidak kuasa untuk menggenggam jiwa anak-anak kita sendiri. Betapa pun amat besar keinginan kita untuk menjadikan anak-anak kita termasuk golongan orang beriman, tetapi kita tidak punya kekuatan untuk menggerakkan jiwa mereka. Kita hanya bisa mempengaruhi mereka, mendorong mereka dan menyeru mereka kepada kebaikan. Kita hanya dapat bermunajat kepada Allah Ta’ala yang jiwa mereka dalam genggaman-Nya.

Dari ayat ini kita juga belajar tentang tulusnya cinta seorang ayah kepada anak. Betapa pun anaknya telah melakukan kedurhakaan yang nyata, seorang ayah tetap masih memiliki tabungan harapan yang sangat besar agar anaknya kembali kepada jalan takwa. Betapa pun tampaknya sudah hampir tak mungkin, seorang ayah masih akan berusaha memanfaatkan detik-detik terakhir kesempatannya untuk mengingatkan, menasehati, dan menyelamatkan anaknya. Meskipun telah jelas kekufuran melekat kuat pada anaknya, masih ada harapan yang besar agar ia kembali ke jalan Allah. Masih ada doa-doa yang terucap untuk memohon pertolongan-Nya.
Ada yang perlu kita renungkan. Ada yang perlu kita telusuri untuk menemukan jawaban.


Siapkan Calon Ibu Saleh
Lalu apa sebabnya iman tercerabut dari rumah utusan Allah ini? Istri yang tidak memiliki kendali iman dalam dirinya. Allah Ta’ala jadikan istri Nabi Nuh (juga istri Nabi Luth) sebagai contoh bahwa iman tak bisa ditegakkan, anak-anak tak bisa diharapkan, kebaikan tak bisa hadir di rumah kita jika istri rapuh imannya dan lemah pendiriannya. Segigih apa pun kita mendidik anak, awalnya harus menyiapkan istri kita untuk mampu menjadi ibu yang belaian tangannya dipenuhi pengharapan terhadap pahala dari Allah Ta’ala; yang tutur katanya dipenuhi keinginan untuk menjadikan anak-anak mencintai dien; yang doanya menembus kegelapan malam demi mengharap pertolongan Allah Ta’ala agar hati anak-anaknya diterangi oleh iman yang kuat di atas akidah yang lurus.

Karenanya, kunci pertama melahirkan anak-anak saleh adalah menyiapkan calon ibu bagi anak-anak kita. Kunci untuk mencetak generasi yang beriman kepada Allah ‘Azza wa Jalla adalah dengan mencintai istri kita sepenuh hati. Sebab dialah yang akan menjadi madrasah pertama bagi anak-anak kita. Bukan sekadar sebagai ibu kandung yang melahirkan dan sesudah itu orang lain yang mengurus anak-anaknya.
Sesungguhnya, setiap anak kita memerlukan ‘tiga ibu’. Setiap bapak harus menjamin bahwa anak-anaknya memiliki tiga ibu, yakni ibu kandung, ibu susu yang memberi makan kepada bayinya dengan air susunya sendiri (bukan susu sapi), dan ibu asuh yang menjadi madrasah pertama bagi anak kita. Seyogyanya, tiga fungsi ibu ini berada dalam satu pribadi, yakni istri yang melahirkan anak-anak kita. Tetapi sekiranya tidak bisa, masih ada jalan yang Allah Ta’ala berikan, yakni mengangkat ibu susuan dengan segala kehormatannya. Adapun pengasuhan, ada berbagai kewajiban yang harus kita tunaikan.
‘Alaa kulli haal, mari kita renungkan kembali bahwa berpayah-payah dalam berdakwah tidak cukup untuk mengantarkan anak-anak kita agar memiliki iman yang kuat dan Akidah yang lurus. Khusyuknya doa kita tidak cukup untuk menjadikan anak kita ahli ibadah. Penuhnya luka di sekujur badan karena memperjuangkan agama Allah ‘Azza wa Jalla, yakni al-Islam ini, tidak cukup untuk melahirkan generasi mujahid yang siap mengorbankan hidup dan hartanya untuk menolong agama Allah. Begitu pula banyaknya ilmu yang kita dapat melalui usaha sungguh-sungguh, tidak cukup untuk membawa anak kita dekat dengan agama. Apalagi jika bekal kita sekedar power point. Bukan ilmu yang dikejar dengan penuh kesungguhan.

Lalu apa yang menjadikan cukup? Istri kita; apakah hatinya dipenuhi iman atau disesaki keinginan mengejar dunia? Istri kita; apakah orientasi hidupnya untuk mengejar akhirat ataukah mendesak-desak kita untuk bersibuk mendakwahkan agama demi merebut dunia? Jika hidup kita dipenuhi kegelisahan untuk menegakkan kalimat Allah di muka bumi, tetapi istri terlepas dari iman, maka sulit bagi kita untuk berharap akan lahirnya anak-anak saleh yang mendoakan sesudah kita tiada. Mungkin ada yang mengundang orang untuk mendoakan kita, tetapi mereka tidak ikut berdoa. Sementara kesalehan tidak melekat dalam diri mereka. Na’udzubillahi min dzaalik.
Mari kita ingat firman Allah Ta’ala tentang istri yang durhaka, “Allah membuat istri Nuh dan istri Luth perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya, maka kedua suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikit pun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya); “Masuklah ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka).” (At-Tahriim [66]: 10)

Dalam keadaan berselisih iman, bisa saja istri tetap cinta sepenuh hati. Bukankah sudah banyak contoh seorang istri yang tetap setia kepada suami meskipun telah nyata durhakanya kepada Allah? Ini berarti cinta saja tidak cukup.
Nah, sudahkah Anda memberi nasehat kepada istri Anda hari ini?* SUARA HIDAYATULLAH, 
Read more

0 Perlu Alasan untuk Belajar

Oleh Mohammad Fauzil Adhim
Apa yang membuat kita mau berusaha lebih gigih untuk meraih sesuatu? Macam-macam. Banyak hal yang bisa menggerakkan kita untuk bertindak lebih serius. Tak peduli suka atau tidak, kita bersungguh-sungguh mengerjakannya.

Apa yang menjadikan kita bersedia meluangkan waktu lebih banyak dan belajar lebih keras? Sama juga. Ada berbagai faktor yang bisa memaksa kita untuk menekuni sesuatu dan mengabaikan yang lainnya. Sebagaimana ada banyak alasan yang bisa menggairahkan kita untuk bertekun-tekun mengkaji sesuatu. Karena takut, kita bisa bersungguh-sungguh melakukan sesuatu agar terhindar dari bahaya yang mengancam. Karena tekanan, kita bisa bertahan untuk melakukan apa yang tidak kita sukai. Atau karena suka, kita bisa lupa waktu bahwa malam sudah beranjak mendekati pagi. Kita masih asyik membuka-buka buku yang sudah tiga atau empat kali kita nikmati.
Sebagaimana kita, anak-anak melakukan sesuatu juga karena satu alasan. Harus ada yang menjadi penggerak; sebuah alasan mengapa ia harus melakukan sesuatu dan mewujudkan tujuannya. Jika kita membangkitkan dalam diri mereka satu alasan yang kuat, mereka akan belajar dengan sangat serius dan sungguh-sungguh, meskipun kita sedang tertidur lelap. Tetapi jika kita berangkat dari pertanyaan apa yang membuat mereka belajar, maka kita akan sibuk untuk terus-menerus menyuruh atau menyediakan apa yang bisa menggerakkan mereka untuk belajar: terpaksa atau tidak. Bukan berarti kita tidak perlu bertanya apa yang membuat mereka belajar, tetapi pertanyaan ini seharusnya ada setelah kita menumbuhkan dalam diri anak-anak itu alasan mengapa mereka perlu bersungguh-sungguh memeras keringat mereka untuk mencari ‘ilmu dan menanamkan kebanggaan terhadapnya; bangga menjadi orang yang rela lecet kakinya untuk mengejar ilmu.
Menumbuhkan Sikap Belajar
Jika anak-anak memiliki alasan yang kuat untuk belajar, maka usaha untuk membuat mereka nyaman belajar akan mendorong mereka lebih bergairah menyerap ilmu. Keterampilan belajar kita bangun sesudah sikap belajar tumbuh dalam diri anak didik kita. Ini berarti menumbuhkan sikap belajar jauh lebih mendesak daripada kemampuan memahami pelajaran, terutama untuk siswa SD kelas bawah. Sikap belajar yang positif akan membangkitkan antusiasme. Inilah yang menjadikan anak senang belajar. Mereka belajar karena mereka ingin melakukannya. Bukan karena ancaman.

Pertanyaannya, bukankah tanpa ancaman anak-anak cenderung malas belajar? Hemm…. Ancaman memang bisa membuat mereka belajar asalkan rasa takut itu masih ada. Tetapi ketika sudah terbiasa, mereka tak lagi bersedia membuang-buang waktu untuk menyimak buku-buku pelajaran. Akibatnya, kita perlu memberi ancaman yang lebih besar agar mereka bersedia belajar.
Tekanan yang kita berikan kepada mereka juga dapat menjadikan anak-anak lebih tekun belajar. Apalagi jika ada unsur penguat, misalnya mengulang di kelas 6 bersama adiknya jika tidak lulus UASBN. Tetapi segera setelah tekanan itu berlalu, kesediaan mereka untuk belajar akan hilang. Lebih-lebih jika kita sendiri sudah tidak terlalu peduli apakah mereka belajar atau tidak, kesediaan mereka belajar akan lebih merosot lagi. Padahal, kesediaan untuk belajar sangat berbeda dengan kemauan. Mau belajar tidak sama dengan kemauan untuk belajar.
Di luar itu, hilangnya kepedulian kita terhadap kegiatan belajar anak tatkala tidak menghadapi ujian juga menunjukkan bahwa kita sendiri tidak mempunyai cukup alasan kenapa belajar itu penting. Padahal, alasan mengapa (the reason why) perlu belajar jauh lebih penting daripada apa yang bisa menjadikan anak mau belajar. Yang pertama membangkitkan kemauan belajar, sedangkan yang kedua hanya menjadikan mereka mau belajar. Bukan kemauan. Ini berarti, mereka akan segera meninggalkan kegiatan membosankan ini apabila ujian sudah berlalu atau ujian dirasa masih jauh. Sementara ketika ujian sudah dekat, mereka menghadapi stress yang cukup berat.
Lalu, apa yang bisa kita simpulkan jika ternyata stress dan pola belajar keras hanya ketika menghadapi ujian juga dianut oleh guru dan sekolah? Sederhana sekali. Pola ini dengan jelas menunjukkan bahwa sekolah sendiri tidak menaruh perhatian pada pembentukan budaya belajar. Sekolah hanya memperhatikan materi ujian dan prestasi akademik yang bahkan lebih layak disebut kemampuan kognitif semata.
Apa yang terjadi kemudian, bisa kita ramalkan dengan mudah. Tanpa alasan yang kuat, sekolah akan sibuk dengan stress tahunan. Setiap menjelang ujian, tiga atau empat bulan sebelumnya, ada stress massal yang terjadi pada guru, siswa, dan wali siswa. Uniknya, stress massal ini terus-menerus mencengkeram dari tahun ke tahun tanpa ada usaha berarti untuk mengubahnya menjadi gairah. Seakan sudah menjadi suratan takdir. Paling-paling, alih-alih menemukan akar masalahnya dan menyelesaikannya dengan tuntas, kita justru sibuk menyalahkan UASBN – UAN. Padahal, tak ada yang perlu dicemaskan jika anak-anak kita sudah memiliki budaya belajar yang kuat. Mereka memang tidak menjadikan sukses UAN sebagai tujuan, tetapi gairah belajar mereka yang kuat dengan sendirinya menjadikan UAN tak lagi menakutkan.
Pertanyaannya, bagaimana cara menyuntikkan alasan yang kuat dalam diri anak-anak sehingga mereka berhasrat belajar? Cara paling sederhana adalah memotivasi. Bukan sekedar menyemangati. Ada dua pendekatan motivasi yang perlu kita pahami agar bisa memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya, yakni motivasi lembut (soft motivation) dan motivasi keras (hard motivation). Yang pertama, menitikberatkan pada penghayatan nilai-nilai hidup melalui dialog antara pendidik dan anak-anak.
Salah satu cara untuk menumbuhkan orientasi hidup yang baik dalam diri anak adalah dengan sering mengajak mereka berpikir tentang apa yang ingin mereka perbuat bagi umat dan agama ini kelak ketika mereka dewasa. Kita memberi rangsangan kepada mereka agar memiliki tekad yang kuat untuk berbuat baik. Keinginan berbuat itulah yang menjadi orientasi hidupnya sekaligus cita-citanya di masa dewasa. Bukan sekadar menjadi apa.
Motivasi lembut memang lebih lambat prosesnya. Tetapi ia lebih kuat pengaruhnya, bisa dilakukan setiap orang, dan tidak memerlukan kemampuan vokal yang bagus. Sedangkan motivasi keras, lebih cepat kelihatan hasilnya sekaligus relatif cepat luntur. Tak menunggu waktu lama untuk melihat pengaruhnya. Belum selesai kegiatan motivasi diberikan, kita sudah bisa melihat betapa terpengaruhnya mereka. Airmata sudah tumpah, tangan sudah mengepal, dan dada mereka sudah menggelegak dengan semangat yang berkobar-kobar. Tekad besar seketika muncul. Kesulitan harus ditaklukkan sekarang juga!!!
Ini bukan berarti tak ada tempat bagi motivasi keras. Ibarat shalat, ada yang perlu seremoni semisal shalat Jumat. Bahkan ada yang perlu seremoni lebih banyak lagi seperti shalat ‘Ied. Tetapi pilar utamanya tetap shalat lima waktu setiap harinya.
Motivasi juga demikian. Kegiatan motivasi yang menggunakan seremoni sekali waktu bisa saja kita selenggarakan untuk menggugah lebih cepat dan menggerakkan lebih dahsyat. Tetapi yang jauh lebih penting adalah motivasi sehari-hari, meskipun namanya bukan motivasi. Kita perlu senantiasa mengingatkan, menumbuhkan dan merawat niat anak didik kita dalam belajar.
Inilah yang perlu diingat oleh para guru. Setiap hari kita perlu menggerakkan hati anak didik kita sebelum memberi pelajaran kepada mereka. Hati yang mengingini akan mudah menerima pengetahuan yang diajarkan. Sebaliknya otak cerdas tanpa keinginan yang cukup, membuat pelajaran yang sederhana pun mudah mereka lupakan.
Kuatnya keinginan terhadap ilmu mendorong kita untuk lebih bersemangat memahami, mengkaji dan mewujudkan. Bukan sekadar mengingat sesaat dan tak berselang lama sudah lupa kembali.
Agaknya, ada yang perlu kita pikirkan berkait dengan pendidikan anak-anak kita di sekolah. Ada alasan yang perlu kita bangun dalam diri anak-anak kita untuk belajar lebih serius, lebih gigih dan lebih bersemangat. Sebuah alasan yang benar-benar mendasar.
Bagaimana…? SUARA HIDYATAULLAH APRIL 2010
Read more

0 Ingin anak Anda sukses?

Oleh: Mohammad Fauzil Adhim

Ingin anak Anda sukses? Perhatikan, siapa gurunya!
Sebuah riset yang dilakukan oleh S. Paul Wright, Sandra Horn, dan William Sanders (1997) terhadap 60 ribu siswa memberi pelajaran berharga kepada kita betapa pentingnya memperhatikan siapa yang menjadi guru bagi anak-anak kita. Hasil riset yang mereka lakukan menunjukkan bahwa faktor paling penting yang berpengaruh secara langsung terhadap belajar murid adalah guru. Maka, jika anak- anak yang kurang bergairah saat belajar, pertanyaan pertama yang harus dijawab secara tuntas sebelum memanggil orangtua adalah bagaimana guru mengelola kelas dan menjalin hubungan dengan murid-muridnya. Di luar itu, ada pertanyaan lain yang harus dijawab, apakah guru memiliki integritas pribadi atau tidak. Ini berarti, kompetensi saja tak cukup.
Kembali pada riset yang kita perbincangkan di awal tulisan ini. Wright dan kawan-kawan mencatat bahwa, guru-guru yang efektif mampu menjadikan para muridnya berkembang secara efektif. Ini berlaku untuk semua siswa dengan berbagai jenjang prestasi, tidak peduli seberapa majemuk ragam anak-anak di kelas. Jika di kelas banyak anak yang gagal mengembangkan kemampuannya secara efektif, berarti guru tidak mampu mengelola kelas. Bahkan bisa lebih dari itu, yakni tidak mengenali para muridnya dengan baik.
Catatan ini menunjukkan bahwa, kegiatan belajar-mengajar yang efektif sangat sulit terjadi apabila guru tidak mampu mengelola kelas dengan baik. Jika murid banyak yang menunjukkan perilaku menyimpang atau antar murid tidak ada rasa saling hormat, tak ada aturan dan prosedur yang dihormati sebagai panduan perilaku, dan rasa persahabatan antar siswa sangat rendah, maka kekacauan di kelas akan menjadi hal yang wajar. Dalam situasi seperti ini, kata Marzano dalam bukunya yang bertajuk Classroom Management That Works (2003), baik guru maupun murid sama-sama menderita. Guru harus berjuang mati-matian untuk mengajar, dan murid hampir pasti belajar jauh lebih sedikit daripada yang seharusnya mereka lakukan.
Berbagai riset menunjukkan bahwa anak-anak yang kemampuan matematikanya rendah dengan skor 50% ke bawah, meningkat pesat kemampuannya setelah 2 tahun jika ia belajar di sekolah yang efektif dan guru yang juga efektif. Sedangkan anak-anak yang belajar di sekolah rata-rata dengan kemampuan guru mengelola kelas yang juga rata-rata, tidak mengalami perubahan apa pun setelah dua tahun. Tetap saja kemampuannya tidak berkembang dengan baik. Sementara anak-anak yang belajar di sekolah yang tidak efektif dan –celakanya—memperoleh guru yang juga tidak efektif, justru makin lama makin bodoh. Semakin lama ia bersekolah semakin terpuruk prestasinya, semakin tidak mampu ia mengembangkan potensinya.
Pelajaran apa yang bisa kita petik? Setiap anak bisa mengembangkan kemampuannya. Mereka bisa meraih sukses jika memperoleh bimbingan dari guru yang baik; guru yang mampu menjalin hubungan akrab dengan muridnya secara bermartabat, bisa membangkitkan tanggung jawab murid bagi kelangsungan pembelajaran yang penuh semangat, tegas dalam menegakkan disiplin sekaligus dapat melakukan intervensi disiplin secara ketat di kelas, mampu membuat aturan dan prosedur kelas yang menjadi panduan bagi siswa dalam berperilaku, serta memiliki kecakapan membangun sikap mental yang tepat bagi muridnya maupun dirinya sendiri.
Saya perlu menggarisbawahi masalah kemampuan menjalin hubungan akrab secara bermartabat. Apa yang perlu kita perhatikan di sini? Selain terampil menjalin keakraban dengan siswa, yang tidak boleh ditawar-tawar adalah keharusan menjaga batas antara murid dan guru. Akrab dan bersahabat (friendly) memang harus, tetapi harus diingat bahwa guru adalah seorang pendidik dan pembimbing yang bertugas memberi arahan. Ada garis tegas yang perlu diperhatikan agar murid tetap memiliki tata-krama yang baik. Harry K. Wong & Rosemary T. Wong bahkan mengingatkan dalam bukunya yang berjudul How to Be an Effective Teacher: The First Days of School. Buku yang berisi panduan tentang apa yang harus dilakukan oleh guru pada bulan-bulan pertama di sekolah ini menegaskan bahwa setiap guru harus akrab, peduli, penuh cinta, dan sekaligus peka terhadap murid. Tetapi mereka bukanlah teman. Guru harus mampu menjalin hubungan yang bersahabat, tetapi tetap bukan teman yang membuat murid kehilangan tata-krama.
Apa artinya? Menjadi guru efektif yang membuat setiap murid mampu meraih sukses, bukan hanya soal kompetensi. Guru memang harus menguasai bidang studi yang diajarkan. Bukan hanya menang semalam, yakni sekadar belajar lebih awal daripada muridnya. Guru juga harus terampil mengajar. Sangat mumpuni dalam bidang yang diajarkan tetapi tidak mampu menyampaikan dengan baik dan kurang mampu menerangkan secara komunikatif, juga akan berakibat murid mengalami kesulitan belajar. Mereka menjadi bodoh bukan karena tidak memiliki potensi untuk menguasai pelajaran dengan baik, tetapi karena guru gagal dalam memahamkan murid.
Itu sebabnya, kriteria ketuntasan minimal (KKM) dapat dipandang dari dua arah. Pertama, KKM adalah standar minimal yang harus dicapai oleh murid. Jika ada yang tidak mampu mencapai KKM, maka kesalahan sepenuhnya dapat ditimpakan kepada murid dan orangtua. Cara pandang inilah yang banyak dianut sekolah-sekolah kita di negeri ini. Kedua, KKM merupakan target kemampuan murid yang harus dibangun oleh guru. Jika ada murid yang gagal memenuhi KKM, maka guru melakukan evaluasi caranya mengajar dan menangani murid. Cara pandang inilah yang diterapkan di sekolah-sekolah efektif, sehingga guru terbiasa melakukan penilaian, evaluasi, dan meneliti tindakannya di kelas. Ia berusaha menemukan sebab setiap masalah. Apalagi jika jumlah murid yang bermasalah, misalnya gagal memenuhi KKM, merupakan mayoritas.
Tetapi, sekali lagi, penguasaan materi yang baik serta keterampilan mengajar bukan aspek utama yang menjadikan seseorang sebagai guru efektif. Ada aspek lain yang lebih mendasar, yakni motivasi, integritas, dan komitmen. Yang disiplinnya rendah misalnya, meskipun mampu mengajar secara menarik, tetapi mereka tidak patut menjadi guru olah raga. Apalagi guru motivasi. Yang integritasnya rendah, jangan pernah mengambil u pelajaran akidah-akhlak karena keduanya –akidah maupun akhlak—bukan urusan kognitif semata. Ia adalah bagian dari sikap hidup yang harus menyatu dalam setiap helaan nafas kita.
Alhasil, ada yang perlu kita perhatikan. Setiap sekolah perlu memberi perhatian serius untuk meningkatkan kemampuan guru dalam mengajar. Tetapi ini tidak cukup. Pada saat yang sama, harus ada usaha serius untuk meningkatkan secara terus-menerus kualitas pribadi setiap guru, baik yang berkaitan dengan motivasi, iman, akhlak, komitmennya terhadap agama maupun pendidikan, serta integritas pribadi. Ini semua sangat penting untuk memastikan agar setiap murid mampu meraih sukses. Lebih-lebih untuk sekolah Islam yang telah menyatakan sikap bahwa agama ini yang menjadi ruh dari seluruh kegiatan yang ada di sekolah, peningkatan kualitas pribadi setiap guru tak dapat ditawar-tawar lagi.
Setiap wali murid juga perlu memperhatikan ini sebab di tangan para guru itulah kita serahkan masa depan anak-anak kita!
Box (inspiring word): Harus ada usaha serius untuk meningkatkan secara terus-menerus kualitas pribadi setiap guru, baik yang berkaitan dengan motivasi, iman, akhlak, komitmennya terhadap agama maupun pendidikan, serta integritas pribadi. Ini semua sangat penting untuk memastikan agar setiap murid mampu meraih sukses. Lebih-lebih untuk sekolah Islam yang telah menyatakan sikap bahwa agama ini yang menjadi ruh dari seluruh kegiatan yang ada di sekolah, peningkatan kualitas pribadi setiap guru tak dapat ditawar-tawar lagi. SUARA HIDAYATULLAH, MARET 2011
Read more

0 Ajarkan Mereka Berburu Ilmu, Bukan Angka!


HAMPIR bisa dipastikan, sistem pendidikan modern yang menjadikan angka-angka (nilai-nilai ujian) sebagai standar kesuksesan dalam evaluasi akhir proses pembelajaran bagi para siswa-siswi, sedikit-banyak telah menggeser motivasi para peserta didik dalam menuntut ilmu. Mereka tidak lagi memahami akan urgensi ilmu bagi kehidupan mereka di masa mendatang, namun, lebih disibukkan untuk berburu angka sebesar-besarnya. Karenanya, nilai-nilai norma pun mereka langgar, dengan target tujuan tercacai (mencontek).
Setali tiga uang, para wali murid pun mengalami hal serupa. Tidak sedikit, di antara mereka mendorong buah hatinya untuk giat sekolah namun dengan motivasi yang keliru. Banyak kita temukan orangtua mengatakan, “Belajar yang rajin, biar nanti hasil ulangannya bagus, dan nanti juara satu.”
Tentu bisa dimaklumi jika banyak kasus dikemudian hari adanya melakukan kecurangan-kecurangan demi menggapai target yang telah dibebankan olehnya, baik itu oleh pemerintah sendiri, guru, ataupun orangtuanya.
Peristiwa yang menghebohkan dunia pendidikkan di Jawa Timur, khususnya Surabaya, beberapa waktu lalu, terkait dengan terbongkarnya kasus sontek-menyontek satu sekolahan pada pelaksanaan Ujian Nasional (UN) di salah satu SD di kota Pahlawan tersebut, adalah sedikit bukti betapa motivasi (niat) yang keliru dalam menuntut ilmu sangat mempengaruhi perilaku setiap oknum yang terlibat dalam proses pendidikkan.
Sebagaimana diberitakan oleh media massa, seorang wali kelas, tega meminta muridnya untuk berbuat culas, demi ‘kesuksesan’ peserta didiknya yang lain dalam UN. Sungguh memprihatinkan, seorang pendidik yang seharusnya mengajarkan kejujuran demi kebaikkan diri murid, bangsa, dan Negara, justru mendoktrinnya dengan nilai-nilai negatif (curang), demi tercapainya target angka yang menjadi standar kelulusan. Di sisi lain, ini bisa dimaklumi,karena apa yang dilakukan para guru, akibat dari turunan dari atasnya (sistem yang ada).

Kalau sudah begini, lalu siapa yang harus disalahkan? Tidak mudah untuk menentukan kambing hitamnya. Bagaimana pun juga, semua ini berawal dari orientasi yang keliru, yang menjadikan angka-angka sebagai perburuan utama peserta didik. 

Ilmu itu Penuntun 

 Suatu hari, Imam Syafi’I mengadu kepada salah satu gurunya, Waqi’, bahwa dia tengah mengalami kesukaran dalam menghafal. Mendengar pengakuan muridnya, sang-guru menasehati agar imam syafi’i menjauhi kemaksyiatan, karena sesungguhnya ilmu adalah cahaya (petunjuk Allah) yang tidak akan pernah diberikan kepada mereka yang bermaksiat.

Beliau (Waqi’) berujar, “fainni ‘ilma nuurun wa nuruullahi laa yuhdaa li al-‘asyi” (Sesungguhnya ilmu itu adalah cahaya. Dan cahaya Allah tidak diberikan kepada mereka yang bermaksiat).
Jadi, hakikat ilmu adalah penuntun yang akan mengarahkan pemiliknya kepada kebaikkan. Senada dengan ini, Ali bin Abi Tholib pun telah berujar, bahwa perbedaan antara ilmu dan harta itu ada beberapa macam, dan salah satunya, ilmu itu menjaga si pemiliknya –dari keburukkan-, sedangkan harta itu harus dijaga –agar tidak dicuri orang-.
Lebih tinggi lagi, ilmu itu seharusnya mampu mengenalkan si-pemiliknya kepada Allah, Sang-Pemberi ilmu lebih dalam lagi. Sehingga, dengan ilmunya tersebut dia semakin taat kepada Allah, dan takut untuk melanggar perintah-perintah-Nya.
Firman Allah, وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَلِكَ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاء إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ

Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama…”. (QS: Fathir: 28). 

Dan inilah sejatinya tujuan utama dari proses belajar-mengajar seorang mukmin. Yaitu mampu menghantarkan dirinya kepada ma’rifatullah. Selain bertujuan demikian, berarti dia telah keliru dalam melangkah. 

Turunnya ayat pertama surat al-‘Alaq yang berisi perintah membaca (menuntut ilmu) ‘iqra’ (bacalah), itu bergandengan langsung dengan kalimat setelahnya ‘bismi rabbika alladzi khalaq’ (dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan), tanpa ada pemisah sedikit pun. Dan ini, menurut Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi, dalam suatu diskusi, bahwa dalam mengkaji suatu ilmu itu harus lurus niatnya, lillahi ta’ala, yang bertujuan untuk ma’rifat kepada-Nya. Dan keduanya, tidak bisa dipisahkan. Setiap kali kita ber-iqra’, maka itu harus ber-bismi rabbika.

Jadi jelas, seorang mukmin, ketika menuntut ilmu, bukan sekedar berburu angka-angka atau pun materi. Dan barangsiapa yang melakukan demikian, maka sungguh dia merupakan pribadi yang lebih buas dari pada singa yang kelaparan.
Kenapa bisa demikian? Karena dengan ilmu yang dia peroleh dia akan membuat kerusakkan, kedzoliman, kesemena-menaan di muka bumi ini. Dia akan mengancam keselamatan siapa saja yang dia anggap sebagai penghalang dalam meraih missinya.
Kalau dia memiliki jabatan, maka jabatannya akan disalahgunakan. Kalau dia memiliki kekuasaan, maka kekuasaannya akan dijadikan media pelicin jalan menggapai impiannya.

Boleh jadi, potret pemimpin negeri ini yang menjadikaan kekuasaan sebagai alat pengeruk uang rakyat, niat mereka menjabat atau mencalonkan diri sebagai pejabat, bukan bismirabbik (atas nama Allah SWT), tapibismilmaali (atas nama harta/pekerjaan).

Dengan Cara Mulia 

Karena ilmu itu adalah sesuatu yang suci, maka cara menggapainya pun harus dengan cara-cara yang mulia pula. Setidaknya terdapat enam perkara yang harus dimiliki oleh seorang penuntut ilmu, yang menghendaki kemudahan dan kebarokahan. Enam perkara tersebut ialah; kecerdasan, ambisius, uang, menghormati guru, dan waktu yang tidak singkat.

Kesimpulannya, membenahi niat (motivasi) dalam menuntut ilmu, itu sangat penting bagi seorang pelajar, guru, dan wali murid. Ketika terjadi disorientasi, maka, alih-alih anak tersebut akan mendapatkan ilmu yang bermanfaat, tapi bisa jadi, dia justru terjerumus dalam keburukkan karena tekanan-tekanan eksternal yang harus ia penuhi. Tahun ajaran baru telah di depan mata. Mari kita perbaharui niat menyekolahkan anak-anak kita untuk menuntut ilmu, bukan memburu angka-angka. Dengan demikian, ilmu yang bermanfaat akan mereka peroleh, dan angka-angka pun akan mereka dapatkan.
“Sesungguhnya semua amalan itu bergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang hanya akan memperoleh (balasan pahala) sesuai dengan yang ia niatkan. Oleh karena itu, barang siapa yang hijrahnya menuju kepada Allah dan rosul-Nya, maka berarti hijrahnya menuju Allah dan rosul-Nya, dan barang siapa yang hijrohnya karena dunia yang akan diperolehnya atau perempuan yang akan dinikahinya, maka hijrohnya itu menuju kepada apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim). Wallah ‘alam bis-Shawab.*/Robinsah

hidayatullahdotcom
Read more

0 Di Mata Kita Ada Nikmat-Nya

Ada peristiwa tentang seorang anak kecil di sebuah rumah sakit yang sangat besar. Beberapa minggu yang silam, ibunya terbaring karena melahirkan. Seorang bayi yang sehat dan lucu. Hari ini, anak kecil itu yang terbaring di sana. Beberapa dokter berdiri mengelilinginya; mengangkat kedua bola mata anak itu. Ada penyakit yang membuat para dokter tidak punya pilihan lain kecuali operasi.

Ketika anak itu siuman dari pengaruh obat bius, ia segera meraba-raba mencari bapaknya. Ia berkata, “Bapak, kapan kita pulang?”

Bapaknya terdiam. Hening sejenak, kemudian berkata, “Tunggulah, Nak sampai kamu sembuh.”

“Bapak, kenapa lama sekali?” kata anak itu, “aku sudah ingin pulang. Aku ingin lihat adik lho, Pak.”

Bapak itu terdiam. Ia hanya dapat menahan tangis dan perasaan yang bercampur adik. Ia ingin sembunyikan wajahnya, meski anaknya sudah tidak bisa melihat lagi.
Peristiwa ini—sebagaimana juga peristiwa-peristiwa lain—datang dan pergi begitu saja. Banyak pelajaran hadir di hadapan kita, tetapi lebih banyak yang hikmahnya hanya yang kita rasakan saat bercanda. Kita tak menemukan pelajaran apa-apa, karena amat sedikit yang kita renungkan. Padahal, betapa banyak pelajaran hidup yang bisa kita ambil kalau nurani kita masih bersih; atau kalau kita mau berhenti sejenak untuk merenung.

Maha Suci Allah. Alangkah banyak nikmat yang kita rasakan, tetapi alangkah sedikit yang kita syukuri. Alangkah banyak anugerah yang kita nikmati, tetapi alangkah seringnya kita lambat menyadari. Kita ingin mensyukuri dan mempergunakannya untuk kebajikan di jalan Allah, hanya ketika nikmat itu sudah tidak ada lagi bersama kita.

Masya-Allah, alangkah banyak nikmat yang tak sanggup kita syukuri. Bahkan menyadari pun tidak. Allah memberi kita tanpa menghitung-hitung, sementara untuk memuji-Nya sekali lagi, kita sudah sibuk menghitung pahala atas amal-amal kita yang tak seberapa. Padahal, di sisi Allah nikmat yang lebih besar. Jauh lebih besar.

Ingatlah ketika Rasulullah Saw Bersabda, “Sesungguhnya Allah Swt memiliki seratus rahmat. Kemudian Ia turunkan hanya satu rahmat kepada jin, manusia, hewan, dan serangga di dalamnya. Dengan rahmat itulah mereka saling menyayangi dan kasih-mengasihi. Dengan rahmat itu pula, perempuan jahat pun menyayangi anaknya. Allah Swt menunda sembilan puluh sembilan rahmat-Nya, yang akan dikaruniakan bagi hamba-Nya pada hari Kiamat” (H.r. Bukhari & Muslim).

Hanya dengan satu rahmat inilah Allah beri kita nikmat berupa mata dan seluruh yang membuat kita mampu merasakan betapa nikmatnya garam. Kalau sedikit saja ujung lidah kita yang terluka, betapa berbeda dunia yang kita rasakan sekarang. Kalau sedikit saja alat penciuman kita rusak, betapa bunga-bunga itu tak lagi mewangi. Kalau sebentar saja kelenjar air liur tak berproduksi, betapa tak menariknya setiap masakan yang lezat.

Tetapi…

Alangkah sedikit yang kita syukuri. Padahal, dengan syukur itu, Allah akan berikan 99 rahmat yang masih tersimpan di sisi-Nya. Di dalamnya ada kasih yang abadi; kasih yang tak berbatas dari-Nya.

Astaghfirullah… alangkah sering kita lupa atas nikmat-nikmat yang diberikan-Nya. Kita lupa pada nikmat-Nya, lupa menggunakan nikmat-Nya dan bahkan lupa kepada Ia Yang Memberi Nikmat. Begitu banyak yang kita lupa, sampai-sampai kita lupa pada diri sendiri. Kita terasing di tengah keramaian karena ada yang sakit pada jiwa kita; dan ada yang gelap pada hati kita.

Kutulis ini di sini dengan satu harapan yang sederhana: semoga kita lebih ingat kepada-Nya sesudah banyak dosa kita perbuat. Kutuliskan ini bukan karena sudah mampu mengingat-Nya dengan sempurna, tetapi karena berharap semoga catatan sederhana ini terhitung sebagai langkah untuk mendekati-Nya.
Read more

0 Hasil Pendidikan Karakter?

Inikah hasil pendidikan karakter di negeri ini? Kita berbuih-buih bicara budi pekerti, tetapi keteladanan sulit dicari, integritas apalagi, nyaris tak dapat ditemui. Maka karakter yang seharusnya diinspirasikan, terjatuh pada soal kognitif semata. Karakter diajarkan, sehingga mungkin diketahui dan bahkan dimengerti, tetapi tidak menggerakkan diri untuk menjalaninya. Padahal sebagaimana ditulis dalam buku The Biggest Job We'll Ever Have yang secara khusus mengupas tentang bagaimana melaksanakan pendidikan karakter, ada satu hal penting yang perlu kita catat: "Character is inspired. It is not imparted." Kita tidak bisa mendiktekan karakter. Yang harus kita lakukan adalah menginspirasi mereka. Di sinilah kita perlu mengilmui agar tidak asal-asalan bikin program. Tanpa ilmu yang memadai, maka kita bisa bikin Kantin Kejujuran yang lebih banyak menciptakan maling daripada mendidikkan kebaikan. Akibatnya, sangat banyak kantin kejujuran yang tutup tanpa salam perpisahan.

Ada yang merisaukan dari pendidikan di negeri ini. Bukan hanya bicara tentang pendidikan secara umum, tetapi juga pendidikan Islam. Para pendidik muslim kerap kali dengan sangat genit serta merta mengklaim sebuah konsep atau teori baru yang tampak hebat sebagai Islami. Bahkan tak sedikit yang secara norak mengatakan, "Ini sebenarnya konsep Islam, cuma bukan kita yang menggalinya. Sebenarnya dalam Islam sudah ada. Sejak lama." Akibatnya, kita kehilangan sikap kritis. Sesuatu yang sekilas tampak mirip, bisa jadi sangat bertolak-belakang dengan Islam. 

Atau kita mudah terperangah ketika menjumpai suatu pendekatan yang sekilas tampaknya sangat bermanfaat. Bahkan ada yang telah secara keji (atau secara ceroboh) mencari-carikan dalil pembenar untuk sesuatu itu. Maka muncullah Islamic The Secret, atau Qur'anic Law of Attraction, dan lain-lain yang kalau kita mau belajar Islam dengan sungguh-sungguh, niscaya kita tidak menjumpainya. Hal serupa juga terjadi pada hypnotherapy. Di sejumlah tempat saya melihat ada yang mulai lancang memasuk-masukkan dalil sehingga tampak Islami. Sangat berbeda berdalil Qur'an dengan berdalih Qur'an. Lalu membanggakan bahwa hypnotherapy itu Islami. Sungguh, sampai hari ini saya tidak menemukan petunjuk yang dapat menjadi pegangan shahih bahwa hypnosis itu Islami. Justru yang saya dapati, semakin menguatkan diri saya untuk menolak hypnosis tersebut karena alasan aqidah.

Maka terhadap acara workshop hypnotherapy di Payakumbuh yang dinisbahkan kepada saya, 23 November 2011 lalu serta acara serupa di Padang Panjang, 24 November 2011 saya berlepas diri. Sikap saya semenjak awal telah jelas: saya menolak karena alasan aqidah. Di Padang Panjang memang tidak sampai ada workshop karena saya telah menyatakan penolakan sebelum berangkat ke lokasi acara. Tetapi di Payakumbuh, workshop itu ada tanpa memberi konfirmasi terlebih dulu sehingga sebagian memiliki kesan bahwa saya menyampaikan teorinya, sedangkan prakteknya adalah workshop hypnotherapy.

Ya Allah, aku berlepas diri dari apa-apa yang mereka nisbahkan kepadaku yang aku tidak melakukannya.

(M.Fauzil Adhim)
Read more

0 Surat Di Akhir Tahun

Ujung penanggalan hijriyah telah kita lewati, berganti dengan tahun berikutnya. Hari-harinya telah kita masuki, tapi nyaris tak menyadari bahwa sudah semakin banyak jatah hidup yang kita ambil. Sebentar lagi, penanggalan masehi akan menuju titik pergantian tahun. Tak ada sesuatu yang benar-benar berarti untuk berubah, tetapi betapa banyak yang menghabiskan waktu dengan sia-sia sambil mentertawakan Yang Maha Kuasa. Mereka menyibukkan diri menunggu berubahnya waktu, padahal waktu akan berubah dengan sendirinya tanpa harus ditunggui. Mereka banyak menghabiskan uang, tenaga dan usia. Sementara terhadap tuhannya, hampir-hampir mereka lupa.

Alangkah zalim kita pada diri sendiri. Seakan kita mampu memperpanjang usia kita seukuran kehendak kita. Padahal Allah ‘Azza wa Jalla yang lebih berhak mengakhiri. Dialah Tuhan yang apabila menghendaki sesuatu, cukuplah berkata “Kun! Jadilah!”, maka jadilah apa yang dikehendaki tanpa ada yang bisa menghalangi.

Atas diri kita yang pongah dan menyombongkan kekayaan, Allah Maha Kuasa untuk mencabutnya setiap saat. Atau menghapuskan kenikmatan darinya, sehingga tak berguna lagi, meski ada dalam genggaman kita. Dan tidakkah engkau lihat kesudahan orang-orang sebelum kamu?

Sungguh telah berlalu umat-umat sebelum kita, sebagaimana berlalunya waktu. Telah berlalu kaum Tsamud yang Allah musnahkan mereka dengan air yang menenggelamkan. Telah berlalu pula kaum Aad. Mereka terkubur bersama seluruh kebesaran dan kekayaannya, dengan cara yang begitu cepat dan tak terduga.

Maka, apakah engkau akan mengundang kemurkaan-Nya malam ini dengan tiupan terompet yang memekakkan telinga? Padahal ada tangis-tangis bayi yang kelaparan, dan ada kesengsaraan saudara-saudaramu yang ditimpa bencana! Apakah engkau mengingini suatu masa ketika tiupan terompet berubah menjadi jeritan panjang yang tak terdengar, kecuali oleh ombak-ombak yang menjalankan perintah-Nya dengan penuh ketaatan.

Sungguh, Allah Maha Kuasa untuk membalikkan gunung menjadi serpihan batu-batu pijar yang panas, dan meluapkan air laut sehingga menenggelamkan apa saja yang harus ditenggelamkan.
Maka, apakah engkau masih akan menyelenggarakan pesta-pesta untuk bermaksiat kepada-Nya secara sengaja? Padahal setiap saat rasanya kita lebih banyak bermaksiat daripada berbuat taat, meski kita tidak mengingininya.

Dan apakah engkau masih akan meragukan kekuasaan-Nya, sehingga Allah ‘Azza wa Jalla tunjukkan kedahsyatan yang lebih mengerikan di hadapanmu? Ingatlah kepada seorang manusia yang atas kesanggupannya membuat kapal yang kokoh, lalu mengira ia dapat mengalahkan Tuhannya. Ia pongah terhadap kekuatannya yang tak seberapa, sehingga keluarlah dari mulutnya kata-kata, “Bahkan Tuhan pun tak akan sanggup menenggelamkannya.” Tetapi kita semua telah belajar dari sejarah bagaimana kapal yang disebut Titanic itu, terbelah menjadi dua oleh air tanpa bisa ditolong lagi.

Tak ada waktu bagi kita untuk berhura-hura malam ini, ketika kita tahu ada ribuan anak yang tiba-tiba menjadi yatim di seberang sana. Tak ada waktu bagi kita untuk menghabiskan umur dan kekayaan demi merayakan apa yang seharusnya kita renungi sambil menangis, sementara kita tahu ribuan jiwa membutuhkan uluran tangan dan ketulusan kasih-sayang.

Tak ada waktu bagi kita untuk meniupkan terompet kegembiraan, sementara kita tahu ribuan saudara kita sedang dicekam oleh kesedihan. Mereka tak memiliki harapan. Mereka tak memiliki masa depan. Mereka tak memiliki sanak-saudara. Maka sudah saatnya kita menyapa mereka, memeluk mereka dengan penuh ketulusan meski kita tak sanggup meraih tangannya, dan memberikan kedamaian dengan ikatan iman. Kalau kerabat yang mengikat mereka dengan hubungan darah sudah tiada, maka kitalah saudara mereka karena iman yang sama. Sebab, setiap muslim adalah saudara bagi muslim lainnya. Lalu apakah yang sudah engkau lakukan untuk mereka?

Semoga ada yang dapat kita lakukan untuk mendatangkan ridha Allah Ta’ala. Bukan murka-Nya.

Semoga kita dapat merenungkan hal-hal yang demikian. Semoga pula Allah datangkan kebaikan bagi saudara-saudara kita di berbagai belahan negeri ini. Semoga kita tak semakin pongah sehingga Allah Ta’ala murka kepada kita. Semoga kita mampu menginsyafi kesalahan diri sendiri seraya memohon ampun kepada-Nya. Astaghfirullahal adziim.

Tak ada lagi tempat untuk jumawa. Maka, berhentilah menepuk dada.

(Mohammad Fauzil Adhim)
Read more
 
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon More