Saya sungguh berharap wacana tentang karakter tidak berakhir tragis sebagaimana isu-isu lain yang bergulir karena pejabat melontarkannya, lalu kita berebut membicarakannya. Kita pernah riuh-rendah berbicara tentang Iptek & Imtaq, pendidikan anti-korupsi dan kantin kejujuran, emotional quotient (yang tidak ada dalam dunia akademik, yang ada emotional intelligence, cuma disingkat EQ), multiple intelligences, serta sekian banyak lagi lainnya tanpa benar-benar secara serius mempelajari secara terstruktur, mengkaji berdasar landasan ilmiah yang dapat dipertanggung-jawabkan dan menseriusinya dengan implementasi yang dikawal dengan proses evaluasi ketat dan terencana. Berbagai isu tersebut datang silih berganti, diseminarkan beramai-ramai dan didiskusikan berdasarkan common sense. Bukan telaah ilmiah.
Nasib serupa juga terjadi pada isu mewah bernama pendidikan karakter. Beramai-ramai orang membicarakannya tanpa perlu mendiskusikan apa itu karakter, sehingga masing-masing berbicara sesuai persepsinya.
Lalu apakah karakter itu? Kombinasi khas berbagai kualitas pada diri seseorang yang membedakannya dengan orang lain. Kata kuncinya ada pada kualitas personal. Hubungannya bukan dengan perilaku maupun kebiasaan, apalagi dengan keterampilan. Tersenyum bukan kualitas personal. Murah senyum tidak berarti baik. Penipu ulung justru murah senyum. Salah satu keterampilan yang dilatihkan kepada para salesman, pramugari dan orang-orang yang bekerja dalam bisnis hospitality (bisnis yang mengandalkan keramahan) memperoleh pelatihan serius agar mereka terampil tersenyum manis bahkan di saat hati sedang sangat jengkel.
Orang baik memang akan murah senyum, tetapi murah senyum bukan penanda orang yang baik. Dalam hal ini senyum bisa sebagai perilaku, yakni tindakan tersenyum tersebut, bisa juga merupakan keterampilan, yakni kecakapan seseorang melakukan tindakan tersenyum dengan kualitas tertentu sehingga meskipun hatinya jengkel, senyumnya tetap manis. Kadang ada orang yang tersenyum dan kelihatan sekali bahwa ia memaksakan diri untuk tersenyum. Ia berperilaku yang baik tanpa memiliki keterampilan untuk melakukannya dengan baik. Ia hanya mampu tersenyum dengan manis apabila hatinya senang baik.
Alhasil, karakter bukanlah serangkaian perilaku yang baik (atau yang buruk). Bukan juga berbagai kebiasaan yang mulia atau yang hina. Karakter merupakan kualitas personal yang darinya memunculkan berbagai perilaku positif (bagi karakter positif) atau perilaku buruk sebagai cerminan karakter buruk.
Kita juga perlu membedakan bahwa perilaku yang berulang-ulang belum tentu merupakan kebiasaan. Ada kalanya seseorang melakukan suatu tindakan secara rutin dan terus-menerus, tetapi sebenarnya ia melakukan hal tersebut hanya jika ada sesuatu yang memaksanya untuk melakukan. Misalnya anak yang mengerjakan shalat hanya jika mendengar suara bapaknya yang keras. Ia melakukan hal tersebut setiap kali mendengar suara keras bapaknya karena ia mengenali suara keras tersebut sebagai peringatan. Jika tidak mengerjakan shalat, ia bisa menghadapi resiko yang lebih serius. Dalam hal ini, shalat bukan merupakan kebiasaan (habit), melainkan perilaku berulang (repeated behavior). Yang merupakan kebiasaan adalah tindakannya saat mereaksi suara bapaknya yang keras.
Karakter bersifat menetap, dalam arti sulit berubah-ubah. Karakter terbentuk melalui proses yang panjang. Tidak ada satu pun tindakan yang mampu secara instant mengubah atau membentuk karakter. Yang bisa berubah-ubah adalah perilaku. Sedangkan kebiasaan bisa berbeda pada tempat yang berbeda. Jika seseorang berkata bahwa karakter anaknya di sekolah berbeda dengan karakternya di rumah, pasti yang ia maksud bukan karakter, melainkan perilaku atau bisa juga kebiasaan. Misalnya, ada anak yang biasa menampakkan perilaku penurut di sekolah, tetapi di rumah ia tampil sebagai sosok pemberontak. Dalam hal ini yang berbeda bukan karakternya, tetapi perilaku atau pola perilaku.
Perhatikan bedanya!
Jika ada anak yang mengalami perubahan dramatis setelah mengikuti sebuah training, dari periang menjadi pendiam, maka yang terjadi merupakan perubahan perilaku. Bukan karakter. Perilaku mudah diubah, bahkan ada mata kuliah modifikasi perilaku di Fakultas Psikologi. Tetapi tidak ada modifikasi karakter. Selain rumusan yang telah saya tulis di bagian awal makalah ini, karakter dapat dinyatakan sebagai resultan antara nilai-nilai hidup yang diyakini dengan tantangan hidup yang ia hadapi.
Apakah perlu menungu dewasa agar anak menghadapi berbagai benturan idealisme dan tantangan hidup? Tidak. Sekolah bisa mendesain program pendidikan yang memberi pengalaman kepada anak menghadapi tantangan.
Apakah karakter sama dengan karakteristik? Tidak. Karakteristik berarti ciri khas. Kita bisa merumuskan ciri khas sekolah kita, termasuk hal-hal yang berhubungan dengan budaya siswa. Tetapi ini bukan karakter. Nah, di panduan pendidikan karakter yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan Nasional pusat sepertinya ada kerancuan antara karakter dengan karakteristik.
Apakah karakteristik sama dengan temperamen? Tidak. Tetapi temperamen cenderung berpengaruh terhadap karakter sekaligus dipengaruhi oleh karakter. Dalam psikologi, ada instrumen psikometri yang disebut sebagai TCI (Temperament & Character Inventory), meskipun alat tes ini sepertinya masih asing di kalangan psikolog Indonesia. Lho, koq……….?
Jika kita mengingat taksonomi Bloom, karakterisasi diri merupakan tingkatan tertinggi taksonomi afektif. Paling rendah adalah kesadaran (awareness), sesudah itu partisipasi, penghayatan nilai, dan pengorganisasian nilai sebelum akhirnya karakterisasi diri. Perhatikan! Tingkatan terakhir merupakan karakterisasi diri. Bukan karakter. Ini berarti karakter betapa pun sulit diubah, tetapi sebenarnya merupakan proses terus-menerus!
Oleh : M. Fauzil Adhim
0 komentar :
Posting Komentar