Kecil yang Menentukan
Ketika peristiwa hijrah terjadi, ada 120 orang yang berangkat. Mereka pergi dengan tekad yang kuat dan niat bersih. Inilah kekuatan lembut (soft power) yang sangat menentukan. Salah sedikit dalam niat, bisa salah besar dalam akibat meskipun bentuk tindakannya sama antara yang benar niatnya dengan yang keliru. Selain berdampak bagi yang bersangkutan, kesalahan niat besar sekali dampaknya dalam kekuatan jama’ah secara keseluruhan.
Sesungguhnya niat yang baik sudah merupakan kebaikan, meski niat itu tidak terlaksana. Sebaliknya, perbuatan baik tanpa berpijak pada niat yang baik akan sia-sia. Kosong dari pahala dan terlepas dari kebaikan. Sesungguhnya niat itu memengaruhi diri kita, dan apabila kita menyatakannya kepada orang lain, maka niat tersebut dapat menggugah manusia untuk berbuat baik.
Secara sederhana, niat adalah keinginan kuat yang diikuti perbuatan untuk mewujudkan apa yang menjadi niatnya. Di dalamnya mencakup tujuan (al-qashd) dan keinginan (al-‘azm). Jika dalam niat terdapat tujuan yang baik dan keinginan yang kuat, maka akan lahir kehendak (al-iradah). Di dalamnya ada harapan (al-masyi’ah) setiap kali berusaha mewujudkan niatnya.
Begitu besarnya pengaruh niat, sehingga nilainya bisa lebih utama daripada perbuatan.
Teringatlah saya dengan sabda Rasulullah Saw, “Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya, dan bagi setiap orang yang memperoleh apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu menuju Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena dunia yang ia ingin mendapatkannya, atau karena wanita yang ia ingin menikahinya, maka hijrah itu sesuai yang dia inginkan.” (H.r. Bukhari dan Muslim)
Bersihnya niat, kuatnya tujuan, murninya aqidah merupakan kekuatan lembut (soft power) yang luar biasa besar. Ia memberi arah bagi manusia, menjaga dari kesia-siaan, dan menjauhkan dari kehampaan makna. Ia juga melahirkan keberanian yang akarnya keikhlasan dan buahnya perbuatan baik yang dilakukan dengan sungguh-sungguh. Sedangkan rantingnya adalah percaya diri, semangat yang menyala-nyala, dorongan untuk terus belajar, kejujuran dalam kehidupan, ketulusan dalam melayani, kerendahhatian dalam beramal dan berbagai hal lainnya.
Kekuatan lembut inilah yang membuat 120 orang sahabat Nabi Saw memperoleh kepercayaan dan pengaruh di antara mayoritas penduduk Madinah yang ketika itu berjumlah enam ribu orang. Artinya, dua persen memimpin jumlah mayoritas dengan kekuatan lembut. Sama seperti masa keemasan tegaknya khilafah Islam. Jumlah kaum Muslimin saat itu hanya 8% dari keseluruhan jumlah penduduk dalam wilayah khilafah Islam. Tetapi yang 8% dipercaya dan memimpin mayoritas.
Hari ini, kita perlu berpikir kembali untuk merumuskan arah kaderisasi berbagai lembaga Islam. Apakah kita hanya sibuk memperbanyak anggota sehingga majelis-majelis kita dipenuhi tepuk tangan, ataukah kita mematangkan yang sedikit agar menjadi kokoh, mantap, matang dan memiliki kualifikasi terbaik sebagai pemimpin?
Pilihan pertama lebih cepat kelihatan hasilnya, tetapi mudah tercerabut akarnya. Sementara kita cenderung sibuk melayani apa yang menjadi keinginan, bukan menyadarkan apa yang sangat penting untuk mereka inginkan. Kita juga mudah tergelincir oleh tepuk tangan. Sedangkan integritas akan menjadi taruhan yang sangat mahal. Sebab, perlu usaha keras yang terus-menerus untuk membangun integritas. Perlu waktu panjang agar integritas benar-benar terasa kekuatannya. Tetapi, sebentar saja waktu yang diperlukan untuk menghancurkannya. Padahal, sekali hancur, sulit sekali kita membangun kembali integritas yang telah hilang. Atau boleh jadi integritas itu sudah pulih kembali, tetapi kredibilitas sudah tak ada lagi.
Na’udzubillahi min dzaalik.
Adapun pilihan kedua, yakni mematangkan yang sedikit agar memiliki kualifikasi terbaik sebagai pemimpin, lebih lambat prosesnya, sulit dilihat hasilnya dengan segera, dan memerlukan kesabaran yang lebih tinggi. Inilah yang kadang membuat kita enggan untuk istiqamah. Awalnya penjaga moral umat. Begitu memperoleh kepercayaan sedikit saja, sudah lain ceritanya.
Jika ini yang terjadi, kita akan terus-menerus menjadi mayoritas tak berdaya. Tanpa daya, tanpa wibawa.
Sumber : Pages M. Fauzil Adhim
0 komentar :
Posting Komentar